JAKARTA – Kitab Ma Ha Ismaya bukan sekadar karya tulis, tetapi buah dari sebuah peristiwa spiritual kolektif yang langka. Pada 2–3 Agustus 2025 mendatang, Sri Eko Sriyanto Galgendu akan memimpin doa bersama selama 20 jam tanpa henti di Wisma Antara, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Sebuah momentum yang bukan saja diniatkan untuk membangkitkan kesadaran batin bangsa, tetapi juga diharap memecahkan rekor dunia: pembacaan doa bersama selama 20 jam yang akan langsung ditranskrip menjadi kitab.
Acara ini akan dihadiri oleh 77 tokoh, termasuk 21 di antaranya yang telah wafat. Dalam semangat spiritual lintas ruang dan waktu, mereka dihadirkan melalui doa sebagai bagian dari penghormatan dan kesinambungan energi perjuangan bangsa.
Sri Eko, yang dalam beberapa pekan terakhir menyiapkan acara ini dengan intensitas tinggi, menyebut kegiatan ini sebagai ungkapan kemarahan terhadap situasi bangsa yang dinilai makin tidak menentu. Ia menyayangkan bahwa di tengah transisi pemerintahan Prabowo Subianto, banyak gangguan yang justru menghambat upaya pemulihan bangsa. “Doa ini adalah bentuk intervensi spiritual,” ungkapnya dalam obrolan santai di Cipinang, Jakarta Timur.
Energi dan semangat penyelenggaraan telah mencapai lebih dari 80 persen kesiapan. Dukungan datang dari banyak pihak, termasuk Bunda Sri Indrawati Pasifik yang turut menata panggung spiritual. Ia memandang acara ini sebagai upaya membuka kembali portal spiritual Nusantara yang selama ini tertutup.
“Doa 20 jam ini adalah langkah membuka gerbang langit, membumi dan membimbing,” tutur Bunda Sri.
Diskusi-diskusi informal yang rutin digelar di Sekretariat Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI) sejak beberapa bulan terakhir, telah mematangkan banyak aspek acara. Pemimpin Umum Majalah Asrinesia, Airlangga, bahkan mengaitkan makna spiritualitas dengan keseharian rakyat kecil. Ia menyebut keberanian buruh pabrik mengambil cicilan rumah setelah akad nikah sebagai bentuk spiritualitas yang hidup dan konkret.
Sementara itu, Sri Murdiningsih dan Sri Herawati Pasifik menyoroti pentingnya membedakan pemahaman spiritual yang membebaskan dari praktik dogmatis atau sesat. Mereka menyinggung fenomena Lia Eden dan aliran Salamullah sebagai catatan penting dalam sejarah keagamaan Indonesia. Peristiwa masa lalu itu menjadi cermin untuk menyaring spiritualitas yang sehat dan membumi.
Kitab Ma Ha Ismaya bukan hanya dokumentasi, tapi manifestasi. Ia akan memuat transkrip lengkap doa dan refleksi spiritual dari acara 20 jam tersebut. Bagi Sri Eko, ini bukan pertunjukan, melainkan panggung kesadaran spiritual yang harus ditonton sekaligus dituntun sebagai jalan bangsa menjemput peradaban baru. (Jacob Ereste)/ pr


































